Monday, August 18, 2008

MAY DAY .. MAY DAY

Pernah mengalami situasi antara hidup dan mati ? Apa yang dipikirkan di saat saat seperti itu ? Siapkah kita ?

Awal November 2005, saya terbang dengan pesawat Awair dari Batam ke Jakarta. Saya bukanlah orang yang fobia terbang, walaupun bukan juga orang yang menyenangi terbang karena pengalaman beberapa kali penerbangan yang kurang menyenangkan. Saya selalu harus menyakinkan diri sendiri bahwa setiap jam ada ratusan pesawat yang mendarat dengan selamat di seluruh penjuru dunia. Data juga menunjukkan bahwa pengangkutan udara termasuk yang lebih aman dibandingkan dengan pengangkutan lainya.

Sore itu pesawat tidak terlalu penuh, padahal dua hari lagi menjelang hari raya Idul Fitri Saya duduk di bangku bagian belakang, yang menurut “survey” lebih aman. Lalu sayapun berdoa, memohon perlindungan dari Tuhan untuk perjalanan ini. Sesaat pramugari yang cantik mulai memperagakan teknik teknik penyelamatan jika pesawat dalam keadaaan darurat. Adegan yang hampir tidak pernah diperhatikan oleh penumpang dan terkesan memperlambat keberangkatan pesawat.

Tidak lama pesawat mulai meluncur kencang untuk take off. Beberapa artikel yang saya baca menunjukkan bahwa saat take off dan landing adalah bagian yang kritis dalam sebuah penerbangan. Pada babak inilah, iman yang besar sangat diperlukan untuk mempercayai bahwa pesawat yang berbobot ribuan ton mampu melepaskan injakan dari bumi dan melayang ke angkasa dan kembali mendarat tanpa terhempas.

Saya selalu berharap lampu “fasting your seat belt” mati, yang berarti bahwa pesawat sudah melewati babak take off dan sudah stabil melayang di angkasa. Saya juga berharap lampu tersebut tidak pernah akan menyala lagi sampai saat landing nanti, sebab setiap lampu tersebut menyala akan berarti cuaca yang kurang baik dalam skala yang kita tidak pernah tahu. Namun sering kali harapan dan kenyataan amat berbeda.

Saat itu saya sedang melamun menyaksikan kegelapan di luar jendela pesawat dan tiba tiba terdengar bunyi “ding dong” dan lampu fasting your seat belt menyala. Terdengar suara pramugari mengatakan bahwa sabuk pengaman harap dipakai disebabkan cuaca kurang baik.

Pesawat agak goyang oleh turbulance yang di sebabkan awan tebal yang tidak kelihatan. Dan mendadak saya dikagetkan oleh jatuhnya barang dari atas kabin pesawat. Saya memperhatikan, ternyata yang jatuh dari atas adalah oxygen mask di atas kepala kami masing-masing. Saya masih tidak bisa mencerna apa yang saya lihat. Mengapa oxygen mask jatuh ? Apakah pesawat kehilangan tekanan udara ? apakah pesawat dalam bahaya ? Apakah pilot tahu oxygen mask jatuh ?

Saya mengharapkan bahwa mungkin ada sekrup yang kendor di pesawat sehingga mengakibatkan oxygen masknya jatuh yang sama sekali tidak berbahaya. Atau barangkali ini hanya lelucon dari pilot pesawat untuk mengagetkan penumpangnya. Belum selesai saya berandai andai, tiba tiba terdengar suara tidak jelas dari pilot di speaker, lalu pramugari mulai berlarian dari belakang pesawat ke arah cockpit.

Selama kurang lebih 3 menit, kami tidak tahu apa terjadi dan apa yang harus kami lakukan. Para pramugari yang lari ke depan dan ke belakang dengan wajah pucat jelas bukan berita baik. Lalu terdengar suara lagi dari pilot di speaker dan pramugari mulai mengajarkan kami untuk memakai oxygen mask. Satu persatu mulai menarik oxygen mask dari atas dan memakainya. Suasana terasa sangat mencekam. Pesawat kemudian menukik tajam untuk mencari ketinggian yang lebih baik. Gendang telinga terasa sakit sekali mendekati pecah. Beberapa orang terlihat membungkukkan badan menahan sakit di telinga – termasuk saya. Anak anak mulai menangis dan menjerit.

Langit di luar yang gelap gulita membuat saya makin kuatir. Apakah pilot bisa melihat dengan baik dalam kegelapan malam ? Apakah ada lampo sorot di hidung pesawat ? Apakah kita berada dalam ketinggian yang aman ? Apakah ada gedung tinggi yang di depan yang tidak terlihat oleh pilot ? Apakah pilot masih di cockpit ? Semua pertanyaaan aneh aneh muncul bersamaan dalam benak saya. Lalu saya mencengkram pegangan kursi erat erat mengantisipasi setiap benturan yang bisa terjadi setiap saat.

Saat itu, saya tidak ingat lagi semua proyek yang sedang saya kerjakan. Saya tidak ingat lagi berapa uang saya di bank, atau berapa piutang orang kepada saya yang belum dibayar. Saya sama sekali tidak perduli dengan semua harta duniawi yang saya miliki, yang tadinya saya cari siang dan malam. Yang ada pada pikiran saya hanya keluarga saya. Istri dan ketiga anak saya yang masih kecil. Lalu secara cepat terlintas kehidupan saya dalam benak saya.

Kemudian saya berpikir, kalau hidup saya harus berakhir sekarang, apakah hidup saya sudah layak bagiNya. Apakah yang saya lakukan untukNya sudah cukup ? Apakah waktu yang saya gunakan untuk pekerjaanNya memadai ? Lalu mulai timbul keraguan dalam hati saya. Saya merasa belum berbuat yang terbaik untukNya. Apakah Tuhan akan tetap menerima saya ?

Lamunan saya buyar ketika suara pilot yang mengumumkan, bahwa ada kerusakan pesawat sehingga pesawat akan diterbangkan kembali ke Batam. 20 menit kemudian adalah waktu terpanjang dalam hidup saya menanti pesawat landing di Batam. Pada saat roda pesawat terbentur dengan semen di landasan, saya seolah dapat mendengar desah nafas lega dari semua penumpang di pesawat.

Asap tebal keluar dari depan cockpit untuk menyamakan tegangan udara di dalam pesawat. Kemudian pintu pesawat terbuka dan kamipun turun dari pesawat. Saya hampir mencium semen di landasan pesawat. Saya merasa mendapat kesempatan kedua dari Tuhan.

Pengalaman yang sangat berharga ini mengajarkan banyak hal kepada saya. Kini saya tahu lebih jelas prioritas dalam kehidupan saya. We not are not going to live forever. Manfaatkan setiap hari dalam kehidupan kita untuk menciptakan makna yang lebih mendalam. Sehingga setiap saat kita selalu dalam hubungan mesra dengan Tuhan, mengutamakan Dia dalam setiap kegiatan kita.

Saya tidak ingin mengalami hal saya sama seperti di atas. Tapi kalau saya harus mengalaminya sekali lagi. Saya ingin merasa lebih tenang dan tahu bahwa saya layak bagiNya.

No comments: